Suatu malam, menjelang dini hari, Khalifah Umar ra. melakukan kebiasaan rutinnya, berjalan diiringi pengawal, "memata-matai" nasib rakyatnya, bahkan seringkali sampai ke wilaah pinggirn kota. Disebuah dusun kecil terpencil, sayup-sayup telinga Umar menangkap suara tangis bocah. Tak lama kemudian, tangisan berhenti, namun sebentar kedengaran lagi. Begit seterusnya, sebentar bunyi, sebentar berhenti, bahkan kadang-kadang dengan suara memilukan hati.
Setelah Umar yakin arah suara tangis, pelan-pelan dia mendekati rumah gubuk, darimana tangis diyakini tersembunyi. Gubuk itu terbuat dari kulit kayu, sangat sederhana bahkan bolong disana-sini, sehingga dari luar orang dapat melihat tentang apa yang terjadi di dalamnya. Tampak seorang ibu, dengan wajah sendu menghadap ke sebuah tungku di atas panggangan api, persis seperti sedang memasak sesuatu. Sesekali ia menghadap tungku dan mengaduk-aduk sesuatu dalam kuali, namun sesekali lain mulutnya bicara pelan, melipur hati sang putra, "Diamlah wahai anakku. Tidurlah kamu sesaat, sambil menunggu bubur segera masak."
Mendengar hibur sng ibu, si bocah dapat tertidur sesaat. Namun, tak lama bangun lagi, dan si anak menangis lagi. Si ibu kembali berlagak, pura-pura mengaduk tungku sambil menghibur pilu., "Diamlah wahai putraku. Tidurlah kamu, ibu sedang memasakkan makanan untukmu."
Peristiwa itu terjadi berulang kali.
Melihat adegan ganjil ini, Khalifah umar ra. penasaran lantas bertanya dalam hati: apa gerangan yang dimasak itu? Dan kenapa olahan si ibu tak kunjung masak? Umar pelan-pelan mendekat, lantas tangannya mengetuk pintu pelan di daun pintu sambil mengucapkan salam, "Assalamu'alaikum." Si ibu menjawab, "Wa'alaikumsalam," sembari membukakan pintu. Barangkali ia bertanya dengan penuh curiga, "untuk apa tengah malam ada lelaki asing bertamu ke rumahnya?"
Umar lantas bersegera melontarkan pertanyaan tentang apa yang sedang di masak si ibu, dan apa penyebab si putra tak henti-hentinya menangis pula. Dengan sedih pilu, si ibu menceritakan keadaannya, bahwa anaknya menangis karena kelaparan, dan yang diolah pun hanya sebongkah batu dengan tujuan untuk menghibur si anak belaka. Sebagai akhir cerita, si ibu dengan nada gemas kecewa lantas berkata, "Celakalah Amirul Mu'minin Umar Ibnul Khottob, yang membiarkan rakyatnya kelaparan."
Umar segera pergi, sambil meangis dalam hati, memohon ampun pada Ilahi, karena telah teledor dalam memimpin, sehingga ada rakyat lapar luput dari perhatiannya. Buru-buru ia pulang, mengambil dan memanggul gandum, lantas berjalan tertatih-tatih kembali menuju rumah ibu - anak yang kelaparan tadi.
Pengawal tak tega melihat Umar -- Khalifah sebuah negara kaya dengan wilayah membentang dari Hijaz di Saudi Arabia, bakan sampai Syam (Suriah) dan Mesir segala -- mengangkat sendiri karung gandum di tengah malam yang gelap gulita. Pengawal lantas menawarkan diri untuk menggantikannya, "Wahai Amiru Mu'minin, biar aku sajalah yang mengangkat karung ini."
Dengan terengah-engah Umar enggan memberiknnya, bahkan berkata, "APaka kalian mau menggantikanku menerima murka Allah akibat membiarkan rakyatku kelaparan? Biar aku sendiri yang memikulnya karena ini lebih ringan bagiku dibanding siksaan Allah di akhirat nanti."
Akhirnya, sampailah Umar di rumah gubuk tadi. Sang Amirul Mu'minin lantas memasakkan sebagian gandum yang dibawanya, dan menyuruh ibu cukup menenangkan anaknya saja. Singkat kata, setelah bubur masak-tanak, ank-ibu penghuni gubuk dipersilahkan makan sekenyangnya.
Sejurus berikutnya, Umar pamit dengan tak lupa berpesan agar esok harinya anak dan ibu datang ke Baitul Mal menemui Umar untuk mendapatkan jatag makan dari negara. Ibu itu pun mengucapkan terima kasih, "Engkau lebih baik dibanding khalifah Umar," demikian ucapnya.
Umar pamit dengan segala bahagia dan duka campur aduk dalam dada. Sehari kemudian, datanglah ibu itu ke Baitul Mal, untuk meminta jatah tunjangan pangan bagi diri dan anaknya, Umar menyambut dengan senyum bahagia. Ketika ibu itu menyadari bahwa orang yang membantunya di malam buta adalah Umar sang Amirul Mu'minin, si ibu kontan terbelalak, kaget, gugup dan malu campur aduk di dada. Tetapi, manusia saleh, sederhana, Umar ibnul Khottob justru mendekat sambil mengatakn permohonan maafnya akibat teledor sehingga si ibu dan putranya kelaparan, justru lepas dari perhatian.
sumber : Kisah dan Hikmah 3
wah coba semua pemimpin kaya gini. INDAHNYA DUNIA.
BalasHapus