Blog yang Saya ikuti

Kamis, 25 November 2010

Mencari Bibi

Pakaian di ruangan itu mulai menggunung. Debu di lantai juga sudah mengganggu kehidupan di dalam rumah. Rumah ini sangat berantakan. Daun yang berguguran dihalaman rumah, membuat pemandangan semakin kumuh. Suasana hening pagi di rumah itu, pergi seiring dengan terdengarnya teriakan Ibu, membangunkan Syifa, “Syifa!! Cepat bangun!!”. Sementara, Syifa yang masih tergeletak di atas kasur bersama buku-bukunya yang berserakan berkata, “uhg, memangnya sudah jam berapa, Bu?” sahutnya sambil mengusap wajah yang masih mengantuk. “sudah jam 6, Syifa!”, kata Ibu masih dengan nada keras. “hahh!! Jam 6 kok gelap banget di luar”, ucapnya terkaget dan langsung masuk ke kamar mandi.

Pukul 6.30 pagi, Syifa siap berangkat ke sekolah. “oh, ya, Bu, dasi Syifa dimana ya?” Tanya Syifa“untung saja sekolahmu dekat, makanya bangun pagi dong, Fa”, kata Ibu sambil menyerahkan dasi kepada Syifa. “Syifa berangkat! Assalamu’alaikum”, ucapnya ketika keluar rumah mengayuh sepeda. Remaja berusia 17 tahun itu, bernama Syifa Ardianti Subroto. Ia dipanggil Syifa. Statusnya adalah siswi di SMA Negeri di Depok. Setiap hari, ia pergi ke sekolah dengan sepeda berwarna ungu, warna favoritnya.

“Fa, akhir-akhir ini, kamu jarang kumpul ekskul. Kenapa?” Tanya Dany, teman sekelasnya yang juga satu ekskul dengan Syifa, Berkebun. “Iya, bahkan, kamu jarang ke kantin bareng kita. Kamu lebih sering diam di dalam kelas, sambil menghabiskan bekal makanan. Ada apa sih, Fa?”, tanya Citra juga. “Maaf banget, belakangan ini aku sering bermimpi tentang Bibi. Aku jadi ingat dia”, jawabnya sebelum akhirnya bel berakhirnya istirahat berbunyi. Perbincangan mereka pun usai disitu, karena guru sudah memasuki kelas. Ibu Anita, guru geografi memasang sebuah peta pulau jawa di dinding. Saat itu, Ibu Anita meminta setiap siswa untuk maju menjelaskan seluk beluk daerah yang diketahuinya, selain daerah Jabodetabek.

Sepulang sekolah, Syifa masih terbayang peta pulau Jawa yang tadi dilihatnya di kelas. Jarak antara Depok dan Purwokerto, ternyata jauh sekali. Sendirian, ia masih melihat rumahnya dalam keadaan tidak rapi. Apalagi, ibu semakin sibuk dengan usaha batik yang sudah buka cabang di Yogyakarta. Seorang anak ‘gedongan’ pun, tak luput dari menyeterika ataupun menyuci piring. ‘And I will always love you’, handphonenya berbunyi. Tanda pangggilan dari Ibu. “Assalamu’alaikum, Bu”, kata Syifa menjawab telepon. “Wa’alaikumsalam, Fa. Ibu sudah berangkat ke Solo nih, naik kereta, mau urus butik. Kamu sudah makan siang, Honey?”, ucap ibu. “Sudah, tadi Syifa makan soto betawi Pak Samsul”, jawabnya dengan nada perlahan, menunjukkan kecewanya karena ia harus sendiri lagi dalam beberapa hari sampai ibu pulang dari Solo. Kemudian, ibu berbicara lagi, “Ibu sayang Syifa. Kamu hati-hati ya, di rumah. Kalau sempat, tolong bantu Ibu menyeterika baju ya, Honey. Uang jajan kamu untuk seminggu, sudah Ibu transfer. Jaga diri ya, sayang. Assalamu’alaikum.” Pembicaraan pun berakhir. Meski sedikit kecewa, karena harus tinggal di rumah sendirian selama seminggu, tapi Syifa mengerti bahwa Ibu juga pasti merasa berat meninggalkannya pergi ke Solo. Ibu juga pasti merasa berat pergi ke Solo sendirian, tanpanya, untuk mengurus satu-satunya sumber penghasilan keluarga, sejak sang ayah meninggal satahun yang lalu. “seandainya saja, bibi masih di sini, aku kan nggak akan sendirian di rumah”, gumamnya dalam hati.

Tiga bulan lalu, bibi masih bekerja di rumahnya. Namun, saat itu penghasilan dari usaha batik Ibu sedang tidak baik. Sebagai penerus usaha batik yang dahulunya dijalankan ayah, Ibu terjebak penipuan yang menyebabkan kerugian berjuta-juta rupiah. Dalam kondisi itu, Ibu tidak punya pilihan lain, selain memberhentikan bibi secara baik-baik, karena kondisi keuangan yang tidak memungkinkan untuk membayar gaji bibi. Sejak bibi berhenti bekerja dan pulang kampung, rumah pun jadi kurang terurus, mengingat ibu cukup sibuk mengembalikan usaha batik dan sering bolak-balik Depok-Solo.

Suatu sore, Harun menelpon Syifa yang sedang baru saja selesai menyuci pakaian. “Assalamu’alaikum, Fa. Bagaimana keadaan di rumah?”, ucap Harun membuka percakapan mereka di telepon. “Masih berantakan”, jawab Syifa. “Ibu kapan pulang? Tugas biologi dan sejarah sudah dikerjakan? Mau aku bantu?”, tanya Harun lagi. “Maaf ya Harun, aku belum sempat mengerjakan tugas biologi kita itu. Tugas sejarah sudah selesai. Ibu sepertinya pulang tiga hari lagi. Mau! Mau! Mau! Kamu ke rumah aku dong, ajak juga Dany dan Citra, Ya! Biar ramai,” jawab Syifa dengan antusias. “Oke! Kalau begitu, besok, aku ke sana jam 10 pagi, Ya!”, ucap Harun.

Sabtu pagi, jam 10, Harun, Dany, dan Citra datang ke rumah Syifa. Karena begitu antusias menemui mereka bertiga, Syifa sudah standby di teras dan membukakan pintu gerbang ketika mereka tiba, agar mobil Dany bisa langsung diparkirkan di garasi. “Syifaa!!”, teriak Citra dengan ceria, selepas turun dari mobil. Syifa dan Citra kemudian berpelukan dan sedikit berjingkrak-jingkrak. Sementara, Harun dan Dany melepas tawa menyaksikannya. Mereka semua pun segera masuk ke dalam rumah. Begitu berada di dalam rumah, Harun, Dany, dan Citra terpaku memandangi isi rumah, dan Dany berkata, “Fa, parah banget! Rumah ini benar-benar berantakan. Harus kerja keras nih, kita hari ini”. “Siap! Untuk Syifa yang baik hati ini, aku siap membantu”, sahut Citra. Tanpa banyak bicara, Harun dan Dany segera membersihkan juga merapihkan ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan, dan halaman. Sedangkan Syifa dan Citra, membersihkan juga merapihkan kamar tidur, dapur, dan menyeterika pakaian. Sekitar pukul 2 siang, mereka selesai. Dengan wajah sumringah, Syifa berkata, “Wah, Citra, Dany, Harun! Sekarang rumah benar-benar rapih dan bersih lagi. Terima kasih banyak untuk bantuan kalian. Kalau begitu, kita pergi makan, Yuk!” “Tadi, aku sudah pesan pizza delivery order, sebentar lagi juga datang. Kita tunggu saja”, sahut Harun yang disusul dengan sorak Citra, “Asiik!”.

Sambil duduk-duduk di ruang tamu, menunggu pizza datang, mereka berbincang-bincang mengenai keadaan Syifa saat ini. Karena, selain harus membiasakan diri mengurus rumah yang luas itu, sepertinya Syifa juga merasa kesepian akibat sering ditinggal Ibu pergi mengurus butik. Bukan hanya itu, mereka juga mengkhawatirkan Syifa, jika sendirian di rumah seluas 1000m2 itu. “Kenapa kita tidak mencari bibi baru saja?”, usul Citra. “Nah, ide bagus, tuh!”, tandas Dany.

“hmm, apa ibu kamu setuju, kalau ada pembantu lagi di rumah?”, tanya Harun. “Aku rasa, provit butik sudah kembali normal dan sepertinya ibu akan setuju saja, karena sudah ada budget menggaji pembantu lagi. Tapi, tentang pembantu, ibu sangat selektif”, jawab Syifa. Pizza datang, Dany pun segera keluar teras untuk mengambilnya. Pembicaraan masih berlanjut, sambil menyantap pizza. Syifa memulai ceritanya tentang alas an keselektifan ibu yang cenderung ketat terhadap pembantu, “sepuluh tahun lalu, di rumah ini ada seorang pembantu bernama Sumi. Baru bekerja lima bulan, ia sudah meminta naik gaji. Padahal gaji yang diberikan, aku rasa sudah sangat mencukupi kehidupan keluarganya di kampong halaman. Dan ia juga bukan tulang punggung di keluarganya. Karena tidak disetujui untuk naik gaji, ia mencuri sebuah kamera digital. Untungnya, perbuatannya ketahuan oleh satpam yang memergoki ia berada di toko elektronik di depan komplek, hendak menjual kamera digital. Tapi, karena ayah dan ibu tidak ingin repot mempanjang urusan, maka ia dilaporkan dan dikembalikan ke agen penyalurnya. Kami pun mencari pembantu lagi melalui agen lain. Dan hanya dua hari berselang, kami mendapatkan pembantu baru bernama Inah. Selama setahun bekerja di rumah ini, Inah benar-benar terampil mengurus rumah. Oleh karena itu, ia sering diberi tunjangan bulanan oleh ibu. Sampai suatu ketika, ada seorang lelaki, yang mengaku sebagai suami Inah, datang. Ternyata, Inah tidak diijinkan bekerja oleh suaminya itu. Lalu, Inah dipaksa pulang ke kampong halamannya saat itu juga.

Setelah Inah pergi, seminggu kemudian datang pembantu bernama Yeyen. Waktu itu, ia masih berumur 16 tahun. Meskipun hasil kerjanya tidak sebaik Inah, tapi Yeyen cukup penurut dan cepat tanggap ketika diberitahu. Yeyen cukup lama bekerja disini, yaitu hampir tiga tahun. Aku juga cukup akrab dengannya, karena aku cukup sering ajak Yeyen ke mall. Tetapi, sejak sering aku ajak ke mall, Yeyen menjadi bertingkah genit kepada mas-mas ojek maupun penjual somay yang sering lewat depan rumahku. Kalau sore-sore ia menganggur, ia langsung jalan-jalan sama mas-mas ojek atau main sama penjual somay. Semakin hari, semakin parah saja. Ia bahkan pernah tidak pulang, dan mengakunya menginap di rumah penjual somay di perumahan kampung belakang komplek. Karena itu, ibu memberhentikan Yeyen dari sini.”

bersambung ...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar